Kita temukan (banyak) orang yg mencari eksistensi dg cara sederhana: membuat akun facebook, mencari banyak teman di sana dan lakukan banyak update status di wall mereka. Perkara apa yg ditulis di wall bisa banyak cerita: ada yg dg mengisi wall dg ujaran hikmah, ada yg wallnya mirip kantor berita, ada yg selalu update dg foto terbarunya, dg di mana dia berada dan apa2 yg dilakukannya; ada jg yg penuhi statusnya dg curhat dan masalah2 pribadinya seolah mengundang publik untuk turut masuk dan berkomentar atas kehidupannya.
Apakah ada model status update yg salah? Well, agak susah untuk katakan ini. Sejak awal twitter dan facebook dimaksudkan utk sebarkan kabar ttg bagaimana kondisi terbaru kita shg info ini bisa berguna bagi keluarga, sanak kerabat, dan teman-teman di sekitaran kita. Cuma sekarang masalahnya (meskipun bukan lantas juga dibilang masalah) adalah ketika facebook dan twitter sudah jadi media publik. Keduanya sudah dipenuhi dg para kenalan baru yg bahkan belum pernah kita temui.
Ada mereka yg wall facebooknya penuh dg curhatan hati (baca: masalah), keluhan diri, dan apapun yg tak mengenakkan hati. Entah dg maksud agar ada yg berkenan berikan solusi atau benar2 sekedar untuk meluapkan isi hati, itu ya kembali ke masing-masing diri; jika sejak awal niatan berfacebook dan bertwitter adalah seperti itu, ya sudah, mau gimana lagi.
Sekarang cuma masalahnya bila FB sekarang sudah tidak lagi jadi konsumsi pribadi, sehingga kita harus betul-betul aware atas implikasi.
Pertama, dengan memampang status facebook yg isinya ttg ‘kesialan’, grundelan dan keluhan, artinya Anda semacam membuka kesempatan pada orang lain (baca: orang asing) untuk turut campur pada masalah Anda, untuk masuk ke kehidupan pribadi Anda hingga dia mengajukan pertanyaan2 yg sifatnya pribadi dan barangkali yg tidak sepatutnya. Jika Anda lantas protes, sah sah saja Anda direply dg: “Lha sejak awal sapa juga yg kerjanya mengumbar masalahnya ke orang2.”
Kedua, pahami bahwa saat ini status update wall FB dan twitter sudah digunakan para pemberi kerja (investor bisnis juga, barangkali) untuk preliminary screening. Bagi pemberi kerja, job interview itu biaya, dan melelahkan; maka sejak awal mau tak mau penyaringan awal harus dilakukan. Untuk investor, mereka juga ingin tahu bagaimana reputasi, kapasitas diri, dan potensi dari kandidat yg diincarnya. Untuk keduanya, mbah Google jadi andalan dan media twitter dan FB juga turut jadi landasan.
Coba cermati tren status Anda beberapa minggu atau bulan terakhir, jika isinya melulu masalah dan keluhan, tidakkah eksistensi Anda akan bertema: “Wuih, anak ini, Rek. Isi kehidupannya masalah melulu. Dia tidak berada dalam kapasitas yg bisa menguntungkan dan bermanfaat bagi orang, karena dia sendiri masih sangat butuh bantuan.” apakah lantas Anda jadi kandidat yg menarik untuk dipertimbangkan? Dan tidakkah itu berpotensi membuat orang lain (headhunter, investor, rekanan) kurang tertarik untuk mengenal dan bersinergi dg Anda? Secara umum, apakah tema hidup Anda bisa mengademkan orang?
LAME status =
“Siyaaaal!!! IPku dua koma” yg diikuti dg “untung temen2ku juga sama” atau “dasar dosen cilaka gak bisa ngajar” atau “ini gara-garanya si anu yg maksa aku habis-habisan di himpunan” atau “tp gpp, yg penting semester kemarin aku hepi krn bisa hura-hura. Wkwkwkwk”
…dan apapun yg sifatnya mengutuk, menyalahkan, cari-cari alasan, serta yg tak kasih gambaran yg mencerahkan. Mengeluh dan bicara masalah tanpa menyertai dg solusi dan hikmah, agar yg membaca bisa belajar darinya.
Nice status =
“Alhamdulillah, IPku satu koma. Tampaknya hanya dg dibeginikan ini aku baru betul-betul mau sadar, berubah, menyeriusi ikhtiar, dan berhenti menyalahkan. Aku ini lemah, ya Allah, tolong kuatkan.”
…
Bagus tidaknya status FB dan twitter itu bisa jadi relatif. Tak ada yg berhak mengatur bagaimana layaknya kita menulisnya. Itu urusan pribadi, yg penting sadar betul akan konsekuensi.